Ketika Beliau Butuh Dikuatkan

by - 12:59 PM


Ketika Beliau Butuh Dikuatkan - Sampai saat ini, kayaknya saya sudah pernah terbaring di meja operasi sebanyak 4 kali. Pertama waktu masih SMA atau SMP kalau nggak salah, operasi angkat daging tumbuh di belakang telinga, kedua operasi amandel saat kuliah, ketiga operasi sesar anak pertama dan keempat operasi sesar anak kedua. Satu lagi deh, pernah bedah kecil ngangkat daging tumbuh sejenis tumor jinak di paha kanan atas lutut.

Dari sekian banyak history di atas, papa adalah salah satu support system terbesar saya. Takut? Ya, pastilah. Apalagi saat dinyakatakan harus masuk ke ruangan operasi pertama kali. Namun papa yang terus kasih semangat untuk; "Tidak usah takut, kita berserah kepada Allah melalui tangan dokter, dokternya ahli, sudah mengoperasi banyak sekali pasien, jadi kita yakin dan percayakan saja bahwa insyaAllah kita akan sembuh. Jadi, jangan takut, ya!"

Kata-kata itu terngiang-ngiang dan ampuh menguatkan saya, hingga akhirnya saya berani melalui semuanya.

Bulan Maret 2021 lalu, giliran papa saya yang divonis harus masuk ke ruangan operasi. Qadarullah, papa kena hernia. Ada lubang sebesar 1,5 x 2,7cm di selaput bawah pelindung ususnya, sehingga membuat si usus keluar dari tempat yang semestinya. Intinya, mah, begitu yaa istilah kedokterannya saya lupa. Hihi.

"Ini hernia, Pak. Ini satu-satunya jalan harus operasi untuk nutup lubangnya."

"Operasi, Pak, ini insyaAllah operasinya cepat. Jangan sampai lubangnya makin lebar atau ususnya semakin jatuh ke buah zakar, malah nanti jadi operasi emergency."

Ada 3 dokter yang bicara seperti itu ke papa. Dokter dari Puskesmas, Dokter Umum senior kepercaan kami sekeluarga dari jaman dulu dan terakhir Dokter Spesialis Bedah Umum yang akan mengoperasi papa nanti.

Kayaknya ini kali pertama papa sakit dan harus sampai operasi, selama ini nggak pernah. Saya tahu papa takut, saya tahu banyak banget yang papa khawatirkan. Sampai akhirnya papa pun mengakuinya, "Papa takut lah, operasi di usia-usia lansia begini.. Ragu papa."

Karena kata-kata penguat yang dulu papa pernah ucapkan ke saya pun akhirnya saya ucapkan ke papa. "Pa, dokter tau mana yang terbaik. Hernia di usia-usia lansia kan banyak dan banyak juga yang berhasil. Kata dokter, kan ini operasinya cepat, mumpung belum keburu parah dan jadi operasi emergency. Nggak usah takut, Pa. Memang harus dijalani, yakin aja ya, Pa.. Biar nggak sakit-sakit lagi, biar nggak khawatir ususnya makin turun lagi."

Saya, suami, abang dan kakak ipar saya bekerja sama meyakinkan papa, sampai akhirnya papa memutuskan untuk "Ok, Bismillah. Harus dijalani."

Hari itu tanggal 25 Maret 2021

"Pa, semangat, ya! Papa harus cepat sembuh, karena tanggal 1 April Aal ulang tahun.."

"Pa, semangat, cepat sembuh, ya!"

Seperti itu ucapan semangat yang dilontarkan anak-anak saya, Aal dan Maryam pagi hari sebelum papa dioperasi. Saya sudah siaga di Rumah Sakit, terpaksa saya harus tinggalkan sementara anak-anak dan suami saya di rumah.

Pagi itu, saya dan mama menemani papa urus administrasi pendaftaran dan persiapan operasi. Papa berganti pakaian, pasang infus dan lain-lain. Di ruang persiapan operasi, papa masih ditemani mama saja. Saya berjaga di luar ruangan karena memang hanya boleh didampingi 1 orang saja di dalam sana.

Tiap ada yang membuka pintu, saya sengaja mencuri pandang untuk melihat papa dari luar ruangan, saya kebayang bagaimana rasa nervous-nya papa sebelum dipanggil masuk ke ruangan operasi. Mulut beliau tak henti berdzikir.

Sampai pada akhirnya papa harus masuk ruangan operasi. Papa keluar dari ruangan persiapan menggunakan kursi roda didampingi mama, lalu saya mengikuti keduanya dari belakang sampai ke depan ruangan operasi. Huhu. "Bismillah, ya, Pa! Kami tunggu di luar."

Kami berdoa di dalam hati. Saat itu hampir tepat pukul 12.00 WIB. Mama masih menunggu di depan ruang operasi, sementara saya izin makan siang di kantin Rumah Sakit. Saya makan cepat-cepat, ya, nggak nyaman di kantin rumah sakit yang banyak orang lalu lalang masih dalam masa pandemi gini.

Setelah makan, saya menghampiri mama yang sedang duduk menunggu papa. "Yasti, tadi perawat panggil mama, nanti mama atau Yasti boleh masuk ke ruangan operasi untuk saksikan pemasangan mesh hernia papa. Mama nggak berani, lah, Yasti bisa?" Kata Mama.

"Masuk ke dalam? Ruang operasi?" Tanya saya meyakinkan lagi, karena kan biasanya kita nggak boleh masuk ke ruangan operasi.

"Iya..." Jawab mama dengan yakin.

"Oh, boleh, Ma. Yasti bisa." Jawab saya yakin.

"Yaudah, duduk di sini aja jangan kemana-mana, nanti perawat panggil. Mama sholat dan makan dulu, ya." Kami bergantian jaga di depan ruang operasi, kebetulan saat itu saya sedang tidak bisa sholat karena tamu langganan.

Tak lama mama pergi ke mushola, saya dipanggil. "Keluarga Bapak Yan.."

"Ya, saya." Jawab saya sambil bergegas datang menghampiri perawat yang memanggil.

"Ibu istrinya?"

"Bukan, anaknya."

"Istrinya mana? Harus ada yang jadi saksi pemasangan mesh hernia."

"Saya aja, Sus. Mama saya nggak berani. Tadi mama sudah sampaikan ke saya."

"Oh, baik. Ayo." Saya pun masuk ke ruang operasi mengikuti mbak perawat.

"Sepatu lepas di sini, lalu pakai baju ini dan pelindung kepala ini." Saya menurutinya.

"Ayo masuk, tangan ke belakang, ya. Tidak boleh sentuh apapun. Berdiri dekat bapaknya boleh." Deg-degan jantung saya masuk ke ruangan operasi pertama kali bukan sebagai pasien.

Saya melihat dokter sedang membedah perut papa didampingi kedua perawat lainnya. "Bu, ini mesh hernianya akan saya pasang, ya."

"Iya, Dok. Baik." Jawab saya. Kami memang membeli mesh hernia yang disarankan dokter Spesialis Bedah Umum secara personal, tidak termasuk tanggungan BPJS. Dokter mau membuktikan bahwa ini mesh hernia yang sudah kami beli atas rekomendasinya dan akan segera dipasang dengan baik. Setelah 3 bulan, mesh hernia itu akan menyatu di dalam tubuh papa.

Mesh hernia itu bentuknya mirip kasa steril, tipis, gunanya untuk menutup lubang selaput pelindung usus papa agar ususnya tidak turun lagi.

Saya berdiri di samping papa. Papa kedinginan dan menyimpan rasa takut. "Yasti... Lagi diapain perut papa?" Tanya papa yang memang sadar, hanya dianastesi setengah badan saja seperti orang melahirkan sesar.

"Lagi dipasang meshnya, Pa. Dijahit bagian dalamnya.."

"Kayak ditekan-tekan perut papa." Lanjut papa mengutarakan apa yang beliau rasa dengan mulut bergetar kedinginan.

"Iya, Pa. Rasanya kayah ditekan-tekan aja karena papa dibius, padahal ini lagi dijahit. Hehe."

"Ya Allah, begitu, ya. Bisa nggak terasa sama sekali sakitnya. Tadinya papa takut, mau minta bius total aja.." Kasian papa tadi ketakutan, saya jadi senang ada di samping papa saat itu dan memegang tangan papa yang kedinginan di ruang operasi.

Saya menemani papa sampai operasinya selesai dan papa dibawa ke ruang perawatan lantai 4. Alhamdulillah. Operasi berjalan lancar dan cepat, hanya kurang dari 60 menit papa di dalam ruangan operasi.

"Alhamdulillah...Alhamdulillah...Alhamdulillah Ya Allah. Sudah selesai, MasyaAllah dokternya baik, Yasti bisa masuk Alhamdulillah." Entah berapa kali papa ucap syukur Alhamdulillah, mulutnya bergetar, padahal sudah tidak kedinginan. Papa memendam rasa sesak ingin menangis. Saya peluk papa, sedikit keluar air matanya. Saya pun sama, bersyukur sekali kepada Allah. Akhirnya, masa terberat itu terlewati sudah. "Iya, Pa.. Alhamdulillah sudah tenang. Sekarang tinggal penyembuhan, ya.."

Sekarang tinggal masa perawatan. Papa harus sangat menjaga geraknya dan asupannya supaya lukanya cepat sembuh. Setelah makan siang, mama datang ke ruangan perawatan papa untuk melihat papa yang sudah selesai dioperasi.
"Alhamdulillah sudah operasinya ya, Uda. Semoga lekas pulih, cepat pulang, sembuh dan sehat lagii kayak biasanya." Ucap mama sambil mengusap papa.

Mama akan pulang, karena di ruang perawatan hanya boleh 1 orang saja yang berjaga. Tidak ada yang boleh membesuk juga sesuai dengan aturan Rumah Sakit di masa pandemi.

4 hari 3 malam saya di rumah sakit mendampingi papa. Siang-siang mama datang untuk bergantian jaga dan membantu lap-lap badan papa. Selama mama bersama papa, saya kabur ke penginapan dekat rumah sakit untuk membersihkan diri dan istirahat.

Dari pada pulang, jaraknya cukup jauh, butuh waktu untuk pulang pergi tentunya, saya harus nyetir (nggak sanggup karena ngantuk) dan saya nggak nyaman bulak balik ke rumah karena saya dari rumah sakit (takut ngebawa virus).

Hari ke 3, sudah bisa duduk dan jalan ke toilet sendiri.


Selama 4 hari 3 malam itu saya tidak pulang. Huhuu rindu anak-anak!

Alhamdulillah....mereka baik-baik budi sekali. Saya kira mereka akan keberatan saya pergi beberapa hari untuk menjaga papa, tapi ternyata mereka tidak keberatan sama sekali.

"Adek nggak nangis, dong. Adek kan nggak cengeng. Lagian kan umi lagi jaga papa.." Kata Maryam, yang biasanya nangis-nangis mencari saya kalau bangun tidur saya tidak ada di depan matanya. MasyaAllah.

Perkembangan pasca operasi papa semakin bagus. Papa hanya nggak boleh kerja terlalu berat dan angkat-angkat beban berat. Selebihnya, papa boleh melakukan aktifitas seperti biasa.

Sudah 1 bulan lebih waktu berlalu, Alhamdulillah bulan Ramadhan ini papa sudah bisa sholat seperti biasa (tidak sholat duduk lagi), sudah tidak minum obat lagi. Semua pengobatan selesai beberapa hari sebelum Ramadhan.

Doain, ya, semoga papa saya semakin sehat dan pulih dengan baik tanpa masalah apapun. Semoga ini pengalaman papa masuk ruang operasi yang pertama dan terakhir. InsyaAllah.

Nah, kalau kalian punya orang tua yang divonis hernia dan harus dioperasi, lebih baik segera saja dioperasi sebelum kondisi memburuk dan operasi terpaksa dilakukan secara emergency.

Papa sempat menolak operasi. "Katanya bisa pakai celana khusus hernia, loh. Jadi nggak perlu operasi." Iya, betul. Memang ada celana khusus pria yang menderita hernia. Tapi celana itu fungsinya hanya untuk menahan usus semakin turun. Bukan menyembuhkan. Kalau celana tidak dipasang, ya ususnya bisa turun lagi. Kalau kita berkegiatan berat atau angkat beban berat, robekan bisa semakin lebar, menyakitkan, dan bisa memperburuk kondisi. Operasi adalah satu-satunya jalan untuk menutup dan menyembuhkan robekan yang menyebabkan usus turun, begitu kata dokter ahlinya.

Sehat-sehat selalu, ya... Semoga kita semua, orang tua kita semuanya sehat, dijauhkan dari segala macam penyakit. Aamiin Ya Rabbal'alaamiin.

Terima kasih sudah baca sampai akhir..:)

Bentukan saya selama di RS, pake baju dingin karena dingin banget tidur di pantai beralas matras tipis. Bukan baju anti corona, ya! Hehe.


You May Also Like

1 comments

  1. Alhamdulillah...
    Semoga Allah senantiasa memberi kesehatan ke papa yan.
    Sehat terus papa yan.

    .
    Btw,, itu salah tulis ya min, "tidur dipantai beralas matras tipis"

    Pantai apa lantai min? 🤭
    Xixixiii

    ReplyDelete