Perjalanan Panjang Lintas Sumatera Menuju Kampung Halaman - Bulan lalu, kami sekeluarga besar melakukan perjalanan yang sangat panjang, menyenangkan dan tidak akan terlupakan bagi dan keluarga. Pertama kalinya pergi jauh keluar Batam membawa mobil pribadi (Mobilnya Papa, lebih tepatnya). Diawali dengan menyebrangi lautan antara Pulau Batam menuju Pelabuhan Mengkapan/Buton, Kabupaten Siak, Riau selama 18 jam lamanya. Dilanjutkan pula dengan perjalanan darat lintas Sumatera yang bermodal do'a dan Google Map.
Nonton Vlog Perjalanan Batam - Riau di sini:
Destinasi utama adalah kampung halaman kami di sebuah Nagari atau desa yang bernama Baruah Gunuang, Kabupaten Lima Puluh kota, Sumatera Barat. Ya, kalau dari pelabuhan Siak (Mengkapan/Buton) menuju destinasi utama itu jaraknya sekitar 367km, alias butuh 8 jam 48 menit agar sampai ke tujuan (sumber info: Google Map).
Kebayang nggak, gimana kalau kita di jalan selama itu?
Makanya, kami sudah berencana untuk melakukan perjalanan sesantai mungkin. Bisa singgah-singgah ke rumah saudara untuk bersilaturrahmi dan juga sekalian mampir-mampir ke destinasi wisata yang sejalan dan searah dengan tujuan utama kami.
Yaa, beginilah cerita perjalanan kami menyusuri lintas Sumatera dari Riau menuju Sumatera Barat
Singgahan Pertama: Sebuah Rumah di Pinggir Sungai Siak
Sesaat sebelum kapal roro bersandar di Pelabuhan Mengkapan (Buton), Riau |
Saat itu kapal kami bersandar di Pelabuhan Mengkapan/Buton, Kabupaten Siak, Riau. Google Map aktif dan sudah menunjukkan jalan menuju ke lokasi singgahan pertama, yaitu rumah salah satu kerabat orang tua saya di pinggir Sungai Siak.
Perjalanan selama kurang lebih 1 jam 15 menit dan kami melewati jembatan yang berdiri kokoh di atas Sungai Siak. Kanan kiri jalan terdapat bangunan-bangunan yang bernuansa Melayu, kami juga melewati Istana Siak dan sempat berfoto di depannya.
Berjalan di atas Jembatan Siak. |
Aku, rerumputan, sungai dan jembatan. |
Di depan Istana Siak |
Tiba di rumah seorang kerabat, saya takjub. Rumahnya pas sekali di pinggir sungai Siak. Kami melihat ada sebuah perahu yang parkir di pinggir sungai samping rumahnya. Ternyata kendaraan ini adalah alat transportasi yang digunakan masyarakat setempat untuk menyebrangi Sungai Siak, sebelum adanya Jembatan Siak. Namun, sekarang sudah tidak lagi, karena masyarakat sudah bisa menyebrangi sungai lewat jembatan menggunakan transportasi darat.
Singgahan Kedua: Perawang, Siak
Setelah bercengkerama dan makan pagi menjelang siang bersama di rumah kerabat, seusai sholat Dzhuhur kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Perawang, Siak. Masih di wilayah Siak, tapi butuh waktu sekitar 1 jam 15 menit juga untuk sampai ke tujuan.
Perjalanan kami benar-benar hanya mengikuti arah Google Map, syukurnya jaman sekarang sudah serba mudah, ya... Hehehe. Senangnya menikmati perjalanan, kanan kirinya hijau dan asri. Jalanan lurus, berkelok, menanjak dan menurun. Seru sekali.
Setibanya di Perawang, oh ya, ini adalah rumah sepupu saya yang sudah lamaaaa sekali tidak berjumpa. Uda Anda namanya. Senangnya, ketika kita bisa bertemu lagi dengan saudara, melepas rindu atau sekedar bernostalgia.
Lagi-lagi di sana disajikan makanan. Padahal baru se-jam yang lalu kami makan. Hehhee. Tapi nggak bisa menolak, dong, apalagi godaan menunya yang menggugah selera. Justru ini yang ditunggu-tunggu, jadi walaupun perut masih sedikit kenyang, tetap disikaaatt, cuy!
Jadi laper, tapi pengennya makan ini lagi. :( |
Setelah makan, kami bersiap untuk melakukan perjalanan lagi menuju daerah Palalawan (masih di Riau juga). SMP banget ya, Siap Makan Pulang. Hehhe. Hari sudah mulai sore, kami berharap bisa sampai di tujuan sebelum matahari tenggelam. Maklum, kita di perjalanan yang bukan wilayah kita, kanan kiri hutan, penerangan kurang, nggak hafal jalan, jadi sangat menghindari perjalanan malam untuk keselamatan.
Singgahan Ketiga, Singgahan Terakhir di Provinsi Riau: Kerinci, Pelalawan
Di Pelalawan terdapat rumah dinas sepupu saya juga, yang juga sudah lama sekali tidak berjumpa. Namanya Uda Fadli. Tempat kerjanya tidak jauh dari rumah dinas yang ditempati. Jalanan menuju rumah dinas sepupu saya menanjak dan menurun tajam, kanan kirinya hutan sawit yang asri dan berbaris rapi.
Hari sudah mulai memasuki senja, cahaya matahari mulai menghilang dan kami masih di perjalanan menuju rumah dinas sepupu saya. Duh, gelap, jalanannya mendadak jadi menyeramkan. Tanjakan dan turunan terjal, ditambah lagi kami beriringan dengan truck-truck besar yang membawa kayu bemuatan penuh, bahkan meninggi melebihi batas dump trucknya. Deg-degan, dong. Hehhee.
Sekitar 1 jam 40 menit di perjalanan dari Perawang ke Kerinci, akhirnya sampai juga di komplek rumah dinas sepupu saya. Di sini jalanan sudah stabil, layaknya komplek-komplek elit, tapi tetap asri. Kami sampai di rumah ketika sudah masuk waktu Sholat Isya. Di sini kami beristirahat dan bermalam, sebelum besok paginya kami akan melanjutkan perjalanan lagi menuju kota Payakumbuh, Sumatera Barat.
---
Abi, Uda Fadli, Mama, Eike, Aal, Papa dan Maryam. |
Langsung akrab, Aal & Maryam dipangku Ayah Fadli. |
Hari Senin, 5 Agustus 2019 pagi,
Pagi hari di Pelalawan, Riau, saat itu belum banyak asap kerhutla (kebakaran hutan dan lahan) yang menyelimuti. Tapi sudah ada. Harusnya kami bisa keluar berjalan-jalan di sekitar komplek, tapi saya urungkan karena mempertimbangkan kesehatan anak-anak akibat asap. Perjalanan masih panjang, euy, kesehatan harus sangat dijaga.
Pagi itu kami sarapan di rumah, minum teh hangat, merenggangkan pinggang sejenak sebelum kita lanjutkan perjalan panjang berikutnya. Kita menyusuri jalanan lintas Sumatera, Riau menuju Sumatera Barat, tepatnya di Kota Payakumpuh. Kita akan melewati jalanan fenomenal, yaitu jalanan kelok sembilan atau yang sekarang dikenal sebagai jembatan kelok sembilan.
Sebelum jalan, foto dulu. Ehm, saya sempat jadi driver. Hihi. |
Jembatan Kelok Sembilan
Dari jaman kecil, jalanan dari Riau menuju Sumatera Barat selalu bikin saya deg-degan. Jalanannya kecil, hanya satu arah, berkelok-kelok, kanan kiri hutan dan jurang. Sekitar 30 km sebelum tiba di Kota Payakumbuh, kita melewati Jembatan Kelok Sembilan. Ini dia jalanan yang fenomenal.
Indahnya Kelok Sembilan (saat ini) terlihat dari udara. |
Kelok Sembilan jaman dulu. |
Kota Payakumbuh
Setelah kurang lebih 6-7 jam perjalanan, akhirnya kita sampai di Kota Payakumbuh. Di kota ini, mama saya sekolah dan menghabiskan masa muda bersama kakak tertuanya. Sedikit saya masih ingat dengan suasana Kota Payakumbuh, hmm, padahal kurang lebih 10 tahun lalu terakhir kali saya mengunjungi kota ini.
Udara sejuk, pemandangan gunung dan bukit-bukit terlihat diselimuti oleh kabut-kabut. Rindu sekali dengan suasana ini, rasanya lelah di perjalanan pun terlunaskan sudah.
Pagi hari, di samping rumah, di Kota Payakumbuh. |
Anak-Anak Selama di Perjalanan
Saya mau cerita sedikit tentang anak-anak selama di perjalanan. Alhamdulillah, tidak seperti yang saya khawatirkan. Anak-anak sangat menikmati perjalanan. Sepanjang jalan itu, Aal jarang tidur, paling hanya 20-30 menit saja tidurnya. Selebihnya, dia lihat kesana kemari, ngemil, baca buku, sampai menggambar di atas mobil.
Cuma, dia agak terganggu dengan jalanan yang berkelok-kelok, karena gambarnya jadi nggak karuan. Apalagi dia duduk paling belakang, hehee. Syukurnya juga, dia tidak mabok di perjalanan. Begitu pula dengan adiknya, Maryam. Kalau Maryam, justru dia jarang sekali melek selama di perjalanan. Seringnya dia tidur pulas. Hehehe.
Alhamdulillah perjalanan lancar, kita istirahat sekitar 2 hari di Payakumbuh sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung, Nagari Baruah Gunuang tercinta. Oh ya, di Payakumbuh kita juga sempat mampir ke objek wisata yang sedang jadi favorit di Payakumbuh, yaitu Lembah Harau.
Nantikan cerita saya selanjutnya tentang Lembah Harau di artikel selanjutnya, yaa...
Bersambung.