• Home
  • About Me
  • Category
    • Sharing
    • Info & Tips
    • Parenting
    • Family
    • Homeschooling
    • Review
    • Traveling
    • Tentang Buku
    • Gelora Madani Batam
    • Event
Youtube Instagram Twitter Facebook

Cerita Umi


Ada kisah luar biasa dari sebuah desa kecil. Desa ini memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup dikenal oleh daerah setempat. Seperti layaknya pondok pesantran yang lain, setiap harinya lingkungan pondok pesantren ini diramaikan oleh para santri dan beberapa ustadz yang selalu menyibukkan diri mereka dengan ibadah. Subhanallah. 

Masyarakat di desa itu tergolong beragam usia, banyak keluarga muda dan banyak pula yang sudah tua renta. Bagaimanapun keragaman tersebut, mereka tetaplah kumpulan penduduk yang tentram dan penuh dengan keramah-tamahan.

Tidak jauh dari pondok pesantren, terdapat sebuah rumah (baca: gubuk) dengan kondisi yang sudah sangat memprihatinkan. Sepasang suami istri yang sudah tua renta (kakek & nenek) yang menempati rumah itu, tanpa satupun anak atau cucu mereka. Anak dan cucunya mungkin sudah hidup di daerah yang lebih baik dan nyaman dibandingkan oleh tempat tinggal mereka sekarang. Bagi mereka, biarlah anak dan cucu mereka hidup di tempat yang lebih pantas dan nyaman, dan mereka biarlah tetap menikmati masa tua di rumah tua hasil dari kerja keras mereka selama masih muda dahulu.

Suatu ketika, kakek dan nenek itu duduk berdampingan di teras rumah mereka sambil berbincang-bincang mengenai ibadah. 

"Aku malu pada anak-anak di pesantren itu. Sejak muda mereka sudah pandai mengaji dan hafal bacaan shalat. Sedangkan aku, masa mudaku penuh dengan hura-hura. Jarang sekali aku mengingat shalat dan kitabku Al-Qur'an seperti anak-anak di pesantren itu.", ucap kakek dengan suara terbata-bata khas orang tua renta kepada istrinya sambil melihat sekumpulan santri yang hendak pergi mengaji. 

"Aku dulu bisa mengaji, aku juga dulu hafal bacaan shalat. Tapi aku terlena dengan duniaku, akhirnya aku jarang shalat dan mengaji. Dan sekarang aku lupa bagaimana itu mengaji, aku lupa huruf-hurufnya, aku lupa semuanya, aku juga lupa bacaan shalat itu seperti apa.", balas si nenek dengan ekspresi yang sedang berusaha mengingat-ingat.

"Apa kita bisa belajar mengaji lagi? Apakah kamu malu dengan orang-orang jika kita yang sudah renta ini belajar mengaji dan shalat lagi?", tanya kakek sambil menatap istrinya.

"Untuk apa aku harus malu pada orang-orang? Aku sama sekali tidak memperdulikan apa kata orang. Aku malu pada Allah. Aku malu karena kita datang pada-Nya disaat kita sudah renta dan mendekati mati seperti ini. Kemana saja waktu muda dan sehat kita. Aku malu..", jawab nenek dengan wajah sendu yang penuh kerutan.

"Aku juga malu dengan Allah, tapi tidak ada kata terlambat buat kita. Ayo, nanti kita ke pesantren dan menemui Pak Ustadz yaa..", ajak si kakek menenangkan nenek.

"Iya, aku mau..", nenek-pun tersenyum mendengar ajakan suaminya itu.

Setibanya di rumah Pak Ustadz yang bersebelahan dengan pondok pesantren, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh Pak Ustadz. 

"Terima kasih Bapak dan Ibu berkunjung ke rumah saya, ada keperluan apa Bapak dan Ibu kemari?", tanya Pak Ustadz dengan ramah.

"Begini Ustadz, kami berdua ingin belajar ngaji dan shalat..", jawab kakek singkat.

Pak Ustadz terkejut, ekspresinya seakan-akan tak percaya. Iya tampak menahan tawanya.

"Oh begitu.. Tapi begini loh Pak, Bu, kami kesulitan untuk mengajarkan Bapak dan Ibu mengaji dan shalat sekarang ini, karena kondisi usia yang sudah tua itu sulit menangkap dan mengingat apa yang diajarkan. Begini sajalah, Bapak Ibu tau kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar kan? Amalkan saja itu sebisanya.", saran Pak Ustadz dengan ekspresi wajah yang masih menahan tawanya.


"Oh begitu ya Ustadz.. Baiklah kalau begitu akan kami amalkan. Terima kasih ya Pak Ustadz.." jawab si kakek dengan kepolosannya, disambut ekspresi si nenek mengangguk-anggukan kepalanya sebagai tanda setuju. 

Sepulang dari rumah Pak Ustadz, kakek dan nenek pun kembali berbincang-bincang.


"Mulai sekarang, bibir kita tidak boleh lepas dari kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar ya.. Orang lain kesulitan jika harus mengajarkan kita, sekarang hanya mengamalkan kalimat-kalimat itulah yang kita bisa. Kita saling mengingatkan yaa..", kata kekek kepada istrinya.

"Iyaa.. Aku pelupa, ingatkan aku yaa..", jawab si nenek. Kakek tersenyum dan memeluk istrinya.

Hari demi hari dilalui, kalimat-kalimat indah itu selalu membasahi bibir mereka dan menyejukkan hati mereka.berdua.

Tiga bulan kemudian...

Desa itu dihebohkan oleh adanya bau yang sangat harum. Entah dari mana harum itu berasal, para warga masih kesana kemari mencari asal muasal keharuman itu.

"Harum sekali, apa ini..?", pertanyaan yang keluar dari para warga desa termasuk penghuni pondok pesantren.

Keharuman itu belum ditemukan asalnya, sudah tiga hari berlalu dan harumnya masih sama, bahkan semakin harum. Akhirnya, seorang pemuda melihat gubuk tua yang sangat sepi seperti tidak berpenghuni. Ia datangi gubuk itu dan mencoba menggedor-gedor pintu kayu yang sudak lapuk tak berbentuk. Beberapa menit ia memanggil namun tetap tidak ada jawaban. Ia beranikan membuka sedikit jendela gubuk itu, keharuman semakin masuk ke rongga hidungnya. Rasa penasarannya pun meningkat. "Apakah keharuman itu dari gubuk ini? Apa yang terjadi?", tanyanya dalam hati.

Pemuda itu memanggil beberapa warga yang lalu lalang di depan gubuk milik kakek nenek tadi. Pintu gubuk itu akhirnya di dobrak paksa oleh beberapa warga dan akhirnya terbuka. Keharuman bertambah merekah. Seluruh warga desa heboh dan ramai mendatangi gubuk itu. Ternyata, keharuman tersebut berasal dari dua jenazah yang terbaring di lantai, jenazah kakek dan nenek yang selalu mengamalkan kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar dengan ikhlas sebelum ajalnya.

"Allahu Akbar..! Allahu Akbar!", teriak para warga yang menyaksikan. Hari itu juga, jenazah dimakamkan secara berdampingan.

Sangat ramai warga yang men-shalat-kan dan mengantarkan jenazah ke pemakaman, termasuk seluruh santri dan ustadz pondok pesantren desa itu.

Setelah pemakaman berakhir, Pak Ustadz yang pernah didatangi oleh almarhum dan almarhumah kakek nenek itu mengatakan sesuatu kepada salah satu santrinya.

"Tiga bulan yang lalu, almarhum dan alhmarhumah tersebut mendatangi saya, mereka ingin belajar mengaji dan shalat. Kemudian saya menyarankan mereka untuk mengamalkan kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar saja." jelas Pak Ustadz kepada santrinya.

"Oh, wah, Subhanallah..", ucap santri dengan kagum atas hidayah yang sempat dimiliki almarhum dan almarhumah sebelum ajal menjemput mereka.

"Iya.. Nak, nanti jika giliran saya yang meninggal dunia, biarkan jenazah saya selama seminggu di desa ini ya.. Mereka yang seperti itu saja harumnya sampai tiga hari, apalagi saya..", pinta Pak Ustadz kepada santrinya.

Tanpa disadari, Pak Ustadz itu sudah tenggelam dalam kesombongannya. Ia merasa jauh lebih baik ibadahnya dibandingkan dengan kakek dan nenek yang telah tiada, ia merasa jenazahnya bisa jauh lebih harum karena ibadahnya selama ini lebih dari kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar saja, selama ini ia menjalankan puasa sunnah, shalat tahajud dan shalat dhuha yang hampir tidak pernah tertinggal, begitu juga amalan-amalan lainnya. Seperti itu pikirannya.

Satu bulan kemudian..

Desa itu kembali dihebohkan untuk kedua kalinya, bahkan lebih heboh. Warga-warga desa termasuk para santri dan beberapa Ustadz di pondok pesantren pada hiruk pikuk kesana kemari, bukan karena keharuman (lagi), namun bau busuk yang sangat busuk dan sangat mengganggu aktifitas mereka. Semua warga sibuk mencari dimana bau busuk itu berasal. Tidak sedikit warga yang mual mencium baunya, terganggu makan dan istirahatnya.

Akhirnya, seorang santri mencium asal muasal bau busuk tersebut, ia menduga itu berasal dari rumah salah satu Ustadz di pondok pesantren tempat ia menimba ilmu. Dengan perasaan setengah yakin dan khawatir ia mendekati rumah Pak Ustadz, bau busuk semakin menyengat hidungnya. Kekhawatiran santri itu diketahui oleh beberapa warga, sehingga mereka memutuskan untuk datang dan melihat ke rumah Pak Ustadz. Ternyata benar, bau busuk itu berasal dari jenazah seorang Ustadz. Mereka heran, apa yang terjadi..?

Seluruh warga berbondong-bondong mendatangi rumah almarhum Pak Ustadz seakan tak percaya. Warga meminta untuk cepat dimakamkan karena tidak tahan dengan bau busuknya.

Ketika prosesi pemakaman itu berlangsung, seorang santri duduk terdiam dan merenung. Ia seakan-akan berpikir keras akibat apa yang menimpa almarhum Ustadz-nya. Ia teringat saat sebulan sebelum beliau wafat. Beliau memintanya untuk membiarkan jenazahnya selama seminggu karena mengira bahwa keharuman jenazahnya akan melebihi jenazah kakek nenek yang pernah mendatanginya untuk belajar mengaji dan shalat.

Na'udzubillah min dzalik. Beliau meninggal di dalam kesombongannya.. Santri itu tersadar dan menangis.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (angkuh).” (QS. 31:18)

---

Subhanallah, cerita ini dapat mengingatkan kita mengenai bahayanya penyakit hati yang bernama sombong. Kita (manusia) tidak ada satupun yang pantas menilai besar atau kecilnya ibadah seorang manusia. Tidak ada (manusia) yang bisa menjamin ibadah seseorang itu baik atau buruknya, benar atau salahnya. Sesungguhnya seluruh kebaikan dan kebenaran hanya milik Allah SWT.

Mohon maaf saya tidak dapat mencantumkan sumber cerita ini secara lengkap, saya mendapatkan cerita ini dari cerita pula. Syukron katsir untuk seseorang yang sudah menceritakan kisah ini kepada saya, sehingga dapat saya ceritakan pula kepada siapa saja yang membaca. Semoga senantiasa dapat diambil hikmah dan pelajaran di kehidupan kita, Aamiin..
Share
Tweet
Pin
Share
5 comments

Ada sebuah cerita menarik tentang persahabatan. Namanya juga manusia, melakukan kekhilafan itu wajar. Seduka apapun kisah yang pernah terjadi di masa lalu, ingatlah bahwa masa bahagia itu pernah ada. Bahkan sangat ada. Cerita ini dikirimkan oleh salah satu sahabat saya untuk kami para sahabat-sahabatnya. Ntah dari mana cerita ini bersumber, saya tidak tahu. Semoga cerita ini bermanfaat bagi yang membaca.. Dan terima kasih untuk sahabat saya yang berinisiatif mengirimkan cerita pendek ini kepada kami. Cerita ini selalu terngiang dan melekat di dalam hati saya.. Always love you because Allah.. ♥

Selamat menyimak.. Bismillah.. 

---

Ini sebuah kisah tentang dua orang sahabat karib yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Ditengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah seorang menampar temannya. Orang yang kena tampar, merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir; HARI INI, SAHABAT TERBAIK KU MENAMPAR PIPIKU.

Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi. Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba berenang namun nyaris tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh sahabatnya. Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah batu; HARI INI, SAHABAT TERBAIK KU MENYELAMATKAN NYAWAKU.

Orang yang menolong dan menampar sahabatnya, bertanya, “Kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang kamu menulis di batu?” Temannya sambil tersenyum menjawab, “Ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya diatas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila sesuatu yang luar biasa terjadi, kita harus memahatnya diatas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin.”

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang yang berbeda. Oleh karenanya cobalah untuk saling memaafkan dan lupakan masalah lalu. Belajarlah menulis diatas pasir.

---

Subhanallah yaa.. Indahnya saling maaf-memaafkan.
Terima kasih. Tulisan ini untuk kalian; Tia Maria (@tia_gaara), Nadra Anasis (@naddnadra), Denni Setiawan (@dennisetiawann).

Juliyastuti (@yastirefrides)

Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh..


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

“Cerita ini adalah kisah nyata seorang anak manusia yang ingin berbagi ceritanya kepada para readers. Syukur-syukur jika ada pembelajaran atau hikmah yang sama-sama bisa kita ambil dari sepenggal kisah pendek yang tidak seberapa di bawah ini. ‘Tersangka’ begitu panggilan bagi pemilik cerita ini, siapa dia? Sensor, itu permintaannya.. Sebut saja dia itu adalah si ‘aku’..”
November, 2012. Aku, dimana beberapa kisah terjadi menerpa kehidupanku. Kenapa mesti aku..? Ya, aku, masa kamu, cukup aku (saja).. Tapi aku diajari untuk tetap berbaik-sangka terhadap takdir, terhadap ketentuan Allah. Aku pun mencoba bercerita dan bebagi kisah dengan manusia yang kusebut sebagai sahabat, layaknya adegan FTV yang curhat sana sini ketika ditimpa kegalauan. Saat itu, aku merasa memikul beban yang sangat berat, sehingga terkadang aku merasa lelah dan pegel-pegel menghadapinya. Tanggapan mereka, sahabat yang menjadi tempatku berbagi cerita pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan pelan, sesekali menarik nafas dalam-dalam, memberikan pelukan dan pukpukan sampai aku merasa sedikit tenang. Terima kasih, sahabatku.. Ya, aku maklumi, itulah tindakan terbaik mereka ketika mereka buta dengan keadaan, mereka yang sama sekali belum pernah mengalami persoalan sedalam ini. Dalam diam dan hening ketika berakhirnya cerita, hanya ada sepotong do’a di hatiku untuk mereka. Semoga cukup aku saja tempat mereka mengambil hikmah dan pembelajaran dari peroalan seperti ini, Allahumma aamiin. Sebuah status Whatsapp salah seorang teman pun cukup menenangkanku, ‘badai pasti berlalu..’. Sebuah lagu milik salah satu grup nasyid kesukaanku yang diputarkan oleh kakak yang sekaligus partner kerjaku juga berhasil memupuk kekuatan bathinku, ‘EdCoustic – Jalan Masih Panjang’ yang menjadi lagu utama di playlist music player komputerku. Mulai dari hari itu, aku merasa harus hidup selayaknya aku hidup biasanya..

Tertawa. Hal itu yang tak pernah lepas dari bibirku, sampai akhirnya hadirlah senyuman kecil yang buram selepas tawaku itu. Diselipkan oleh hembusan nafas yang sangat dalam tentunya. Aku merasa hidupku selama ini sudah ter-cover penuh dengan tawa. Sahabatku mengenalku yang penuh tawa, temanku mengenalku yang penuh tawa. Mungkin hanya keluargaku saja yang sering melihat wajah senduku lebih dalam, bahkan sangat dalam. Ya, itulah keluarga, lebih dari segalanya.
Itulah sebabnya, aku menanamkan pemahaman di dalam hati bahwa keluarga kecilku nanti  lebih dari segalanya, dunia dan akhirat, keluarga adalah imam/makmum, sahabat, teman, partner, segala-galanya.. Aamiin InsyaAllah. Balik lagi ke cerita tawa-tawaku tadi, sulitnya menghindari ekspresi sedih ketika kita lebih dikenal orang sebagai orang yang penuh tawa, penuh canda. Aku dipaksa untuk tetap ceria, apapun badai yang sedang menerpa hatiku. Satu sisi, aku tidak mau terlihat lemah, aku tidak mau menularkan ‘kelam’ ke setiap keadaan dan lingkunganku. Bagiku, mereka adalah bagian dari obat senduku, obat sementara.. J
Setelah melakukan analisis tersembunyi dari hati ke hati, ada juga seseorang yang memahami ‘kepalsuan’ tawaku. Hebat. Ternyata, dia juga memiliki jenis yang sedikit sama. Diam bersuara. Disebut seperti itu lebih tapatnya (inspirasi dari sebuah iklan rokok xxx di pinggir jalan, maaf bukan maksudku mensensor merk, tapi karena aku lupa itu rokok merk apa sebenernya).  Bedanya, dia sungguh-sungguh diam ketika menghadapi satu atau dua hal yang menimpa hidupnya. Kalau aku, diam juga (percaya gak..? percaya aja deh..), tapi dalam keadaan dan kondisi tertentu. Ketika keadaan yang mendukung, hening, sunyi, aku memanfaatkan keadaan itu untuk berfikir dalam diam, berbicara dan menggambar sketsa hidupku sendiri. Sesekali ada senyuman, sesekali ada tangisan tak terlihat, sekalinya sudah tidak tahan pasti aku lari ke kamar mandi dengan alasan kebelet, padahal kebelet air mata. Awesome! Hidupku penuh kepura-puraan. (standing applause!!)

Perlu dicatat dan digaris bawahi dan diberi stabilo warna ungu atau pink juga boleh, sebenarnya kepura-puraan itu aku lakukan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Seperti itu pilihanku menghadapi masalah hidup. Ketika awan hitam berada tepat di atas kepalaku, aku tidak ingin awan cerah di atas kepala orang lain berubah menjadi hitam karenaku. Biarlah menjadi tugasku untuk mencerahkan sesaat awan hitam yang senantiasa menari di atas kepalaku tanpa mengganggu awan cerah di atas kepala orang-orang sekitarku. That’s better, my mind.

Waktu demi waktu berlalu, awan hitam tak kunjung move on dari atas kepalaku. Timbullah perasaan gundahku: aku merasa, hanya akulah manusia di dunia yang mengalami kepedihan. No one else. Pahit. Aku bisa tertawa sambil memikul beban dipundakku karena sekitarku tertawa, ingin selalu tertawa, dan harus selalu tertawa. Sepulangnya aku dari kantor, hari hampir gelap, energi tawa pun semakin berkurang. Pulang ke rumah dengan salam “Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh..” dan dilanjutkan dengan adegan pelukan dengan mama, cium mama. Saat itu rasanya moment yang pas untukku mengalirkan air mata sepuas-puasnya sambil teriak-teriak, meluapkan apa yang menjadi beban berat dipundakku sepanjang hari, mama pukpuk-in pundakku seolah-olah berusaha membantu meruntuhkan beban yang melekat dipundakku, mama ikut menangis dan satu rumah menangis. Tapi itu hanya sebatas imajinasi tinggat tinggi ku saja, dramatis. Nyatanya, hanya wajah senduku saja yang mampu ku perlihatkan di hadapan mereka, hanya sebatas itu. Mereka pun membalas tatapanku dengan tatapan yang sangat penasaran atas apa yang sedang aku rasakan. Aku tidak ingin membuat rasa penasaran itu terus berlanjut, aku pun berusaha berfikir melakukan suatu keisengan yang bisa mengalihkan perhatian pikiran mereka. Berhasil.

Kamar adalah tempat terindah bagiku, disini aku bebas meluapkan berbagai ekspresi kehidupan tanpa diketahui oleh siapapun (manusia). Ketika di luar mungkin aku bisa ‘berpura-pura’, tetapi di kamar aku bebas melakukan apapun sesuai isi hatiku. Tas kerja pun kuletakkan dengan pelan, kupilih untuk berbaring sejenak merehatkan pundakku yang terasa berat. Kupejamkan mata dan mengingat-ingat kejadian absurd sepanjang hari ini untuk sekedar mengundang ketawa kecilku. Malam-malam hari adalah waktu yang menakutkan bagiku saat itu. Bukan karena hantu, gluduk atau maling yang mengancam. Tapi aku takut hanya karena aku tidak bisa tidur. Ketika mulai muncul secara layar-layar kisah hidupku, cobaan yang menimpaku, kepura-puraanku di hadapan lingkungan, kesesakan yang kutahan di depan orang tuaku, kesepianku ketika tidak ada saudara di sisiku, semuanya adalah ketika aku mulai merasa hanya akulah manusia di dunia ini yang mengalami kepedihan. Itu adalah masa yang sangat aku khawatirkan. Jika selimutku bisa berbicara dan berjalan, dia pasti akan mengundang selimut lainnya satu komplek untuk melakukan aksi unjuk rasa atas tindakan kekerasan pada selimut yang telah aku lakukan, ya, aku mencekeramnya dengan sangat kuat ketika bayangan-bayangan kekhawatiran itu mulai muncul. Maafkan aku, selimutku.. L

Alhamdulillah, satu-satunya dipikiranku adalah aku memiliki keyakinan yang sangat indah. Aku memiliki sesuatu yang sangat dekat bahkan lebih dekat dari urat leherku sendiri. Dimana saat itu aku hanya ingin berlari dan mencari, aku sangat ingin memeluk-Nya, Allah Tuhan Semesta Alam. Akan sangat indah dan menenangkan jika aku bisa berbicara tanpa harus diam, berbicara yang sesungguhnya berbicara, berbicara apa saja yang ingin aku bicarakan tanpa dibatasi karakter seperti Twitter, dibatasi oleh tagihan dan jaringan internet untuk Facebook-an atau ng-Blog, dibatasi waktu dan keadaan ketika curhat dengan manusia. Berbicara dengan yang pantas untuk aku bisa berbicara, apapun, berapapun lamanya hanya pada Allah SWT.

Hanya saat aku berbicara pada-Nya-lah aku bisa merenung, menangis tanpa khawatir besok mataku akan bengkak (masih ada eye liner dan kacamata yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi mata bengkak: pikirku saat itu). Muhasabah yang indah terhadap diri sendiri dan diri-diri lain yang ada di hidupku. Mencoba mengerti arah dan jalan pikiran dan hatiku, apa yang salah atas tindakanku selama ini, mengapa aku begitu lemah, mengapa hal ini terjadi menimpaku?? Semua itu terjawab, karena Allah menyayangiku. Ya, sesingkat dan sedalam itu. Allah ingin mengajariku tentang arti bersyukur, arti kesabaran, arti ketegaran dan kedewasaan. Allah tidak ingin usiaku terus bertambah tanpa ada isi yang bertambah pula. Allah ingin meningkatkan kualitas iman dan hidupku dengan menghadirkan cobaan sebagai teguran, Alhamdulillah.

Hari-hari berlalu, aku mencoba tersenyum di depan cermin. Berpikir dan membayangkan seperti apa sih senyumku itu..? Mulai dari senyuman yang datar, senyuman terpaksa, senyuman yang manis, senyuman imut sampai senyuman kena stroke seperti difoto-foto anak remaja jaman sekarang. Akupun tertawa geli sendiri dan bergegas bersiap menghadapi hari. Satu senyuman manis pertama pagi itu kupersembahkan untuk pria yang kucintai pertama kali, papa. Kulihat sinar matanya bahagia melihat tingkahku, aku lega karena sudah mengurangi sedikit rasa khawatir di hatinya, senyumanku itu yang memberi arti bahwa aku baik-baik saja, Alhamdulillah.

Aku mulai berani menghapus persepsi bahwa hanya akulah manusia di dunia yang mengalami kepedihan. Akupun mulai berani membuka diri, berkomunikasi dan berbagi kisah kepada teman dan saudara-saudaraku yang jauh. Aku mulai berperan sebagai pendengar setia untuk orang lain atas segala kisah-kisahnya, aku ingin merasakan apa yang dirasakan olehnya, terutama kepedihannya. Aku mulai sadari, masih banyak orang lain yang jauh lebih pelik masalahnya. Selama ini aku kurang bersyukur, aku mulai belajar mensyukuri setitikpun nikmat yang telah anugerahi Allah kepadaku. Dengan itu, aku merasa bahwa aku tidak pernah sendiri. Beberapa part kisah hidup ini kupetik menjadi pelajaran berharga yang selalu kutunggu hadirnya hikmah terindah dari rencana Allah untukku. Setiap manusia memiliki ujian dan cobaan yang sesuai dengan tingkatan kesanggupannya masing-masing. Seperti itu halnya yang menimpaku, semua pasti sesuai dengan tingkat kesanggupanku, InsyaAllah. Tidak ada alasan lagi untuk aku merasa, bahwa hanya akulah manusia di dunia yang mengalami kepedihan..

Sekian.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh J








Share
Tweet
Pin
Share
4 comments
Newer Posts
Older Posts

About Me




Hai, saya Juli Yastuti, akrab dipanggil Juli atau Yasti. Bagi saya, menulis adalah cara menebar manfaat termudah. Mau tahu lebih lengkap tentang saya?


Baca Selengkapnya >

Contact


Email : ceritaumi2017@gmail.com / Whatsapp : 083184213939

Find Me Here

Followers

Part Of



My Books




Recent Post

Popular Posts

  • Pohon Literasi, Stimulasi Anak Suka Membaca
  • Aku Sayang Ibu, Catatan Literasi Pertama Aal
  • Review Materi Bunda Sayang Sesi 5: MENSTIMULASI ANAK SUKA MEMBACA
  • Pengalaman Melepas IUD Lama dan Memasang IUD Baru. Kapok?
  • Menyenangkan! Pengalaman Berlayar Menggunakan Kapal Roro Dari Batam ke Riau Selama 18 Jam

Member Of




Categories

  • Sharing
  • Info & Tips
  • Parenting
  • Family
  • Traveling
  • Institut Ibu Profesional (IIP)
  • Homeschooling
  • Batam
  • Review
  • Event
  • Tentang Buku
  • Kuliner
  • Gelora Madani Batam
  • Kolaborasi Blog
  • Mahasiswa
  • Puisi

Blog Archive

  • ►  2011 (11)
    • Jun 2011 (5)
    • Jul 2011 (6)
  • ►  2012 (2)
    • Nov 2012 (2)
  • ▼  2013 (7)
    • Jan 2013 (1)
    • Feb 2013 (3)
    • Mar 2013 (1)
    • May 2013 (1)
    • Jun 2013 (1)
  • ►  2014 (13)
    • May 2014 (4)
    • Jun 2014 (4)
    • Jul 2014 (3)
    • Sep 2014 (2)
  • ►  2015 (3)
    • May 2015 (2)
    • Nov 2015 (1)
  • ►  2016 (3)
    • Jan 2016 (2)
    • Mar 2016 (1)
  • ►  2017 (56)
    • Feb 2017 (1)
    • Jun 2017 (1)
    • Aug 2017 (10)
    • Sep 2017 (1)
    • Oct 2017 (5)
    • Nov 2017 (25)
    • Dec 2017 (13)
  • ►  2018 (142)
    • Jan 2018 (21)
    • Feb 2018 (15)
    • Mar 2018 (18)
    • Apr 2018 (13)
    • May 2018 (17)
    • Jun 2018 (7)
    • Jul 2018 (9)
    • Aug 2018 (11)
    • Sep 2018 (5)
    • Oct 2018 (8)
    • Nov 2018 (7)
    • Dec 2018 (11)
  • ►  2019 (67)
    • Jan 2019 (8)
    • Feb 2019 (6)
    • Mar 2019 (7)
    • Apr 2019 (4)
    • May 2019 (5)
    • Jun 2019 (10)
    • Jul 2019 (6)
    • Aug 2019 (3)
    • Sep 2019 (6)
    • Oct 2019 (5)
    • Nov 2019 (2)
    • Dec 2019 (5)
  • ►  2020 (28)
    • Jan 2020 (7)
    • Feb 2020 (3)
    • Mar 2020 (4)
    • Apr 2020 (1)
    • May 2020 (3)
    • Jun 2020 (3)
    • Jul 2020 (2)
    • Aug 2020 (1)
    • Oct 2020 (1)
    • Nov 2020 (1)
    • Dec 2020 (2)
  • ►  2021 (28)
    • Jan 2021 (1)
    • Apr 2021 (2)
    • May 2021 (2)
    • Jun 2021 (2)
    • Jul 2021 (4)
    • Aug 2021 (4)
    • Sep 2021 (1)
    • Oct 2021 (4)
    • Nov 2021 (4)
    • Dec 2021 (4)
  • ►  2022 (14)
    • Mar 2022 (2)
    • Apr 2022 (1)
    • May 2022 (1)
    • Jun 2022 (2)
    • Jul 2022 (2)
    • Aug 2022 (2)
    • Sep 2022 (3)
    • Oct 2022 (1)
  • ►  2023 (6)
    • Jan 2023 (3)
    • Feb 2023 (2)
    • Mar 2023 (1)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates