• Home
  • About Me
  • Category
    • Sharing
    • Info & Tips
    • Parenting
    • Family
    • Homeschooling
    • Review
    • Traveling
    • Tentang Buku
    • Gelora Madani Batam
    • Event
Youtube Instagram Twitter Facebook

Cerita Umi




Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!

Wah, rasanya sudah lama banget sejak terakhir kali saya nulis di blog ini. Ada beberapa alasan -yang jujur, mungkin terdengar klise- tapi saya nggak akan bahas itu di sini, ya. Hehe. Yang pasti, saya benar-benar rindu nulis lagi. Rindu berbagi cerita, pengalaman, dan sedikit sudut pandang saya tentang kehidupan atau apa pun yang lagi terlintas di pikiran. InsyaAllah, kita mulai lagi dari sini. Yuk, kita nulis dan berbagi lagi, ya!

Belakangan ini, hidup saya rasanya kayak roller coaster, naik turun penuh kejutan. Ada kejutan berupa cobaan dan ujian, tapi ada juga rasa syukur dan mimpi besar yang terus bikin semangat. Pada akhirnya, hidup ngajarin saya buat selalu bersyukur sama segala hal, walaupun seringnya nggak sesuai ekspektasi. Bersyukur karena masih diberi semangat buat terus maju, belajar, dan jadi lebih baik. Pelan-pelan, kita coba wujudkan ide-ide yang terus muter di kepala, juga mimpi-mimpi yang terus dipanjatkan. Semoga Allah kasih izin dan mudahkan setiap langkah kita.

Oh iya, di blog ini saya sering cerita soal anak-anak saya, Aal dan Maryam. Sekarang mereka udah makin besar, MasyaAllah. Aal bakal 11 tahun di bulan April nanti, sementara Maryam, sekarang udah 8 tahun. Mereka masih aktif di sekolah tahfidz sekaligus homeschooling, dan saya bersyukur banget bisa terus dampingin mereka di masa-masa penting ini sebagai fasilitator dan teman yang selalu di segala situasi.

Keseharian kami di rumah, alhamdulillah, selalu ada hal baru buat dilakukan bareng anak-anak. Selain mendampingi mereka belajar, kami juga main game bareng, baca buku, nonton tayangan kesukaan mereka, atau cuma bercanda santai sambil bercerita. Makin ke sini, saya semakin sadar kalau mereka makin besar, dan saya juga harus makin bisa jadi teman buat mereka. Mereka butuh tempat yang nyaman buat cerita, bertanya, atau sekadar berbagi, dan saya pengen selalu ada buat mereka. Biar jadi orang tua yang sigma, jangan jadi orang tua yang skibidi bagi mereka. Hehehe.

Masih banyak banget hal yang pengen saya tulis di sini. Dari momen-momen kecil yang penuh makna sampai rencana-rencana besar di masa depan. Harapan saya, blog ini bisa jadi ruang buat berbagi cerita lagi, saling menginspirasi lagi, dan saling mendoakan kebaikan satu sama lain.

Jadi, terima kasih banget udah baca tulisan ini. InsyaAllah, saya bakal coba lebih konsisten nulis di sini lagi. Semoga apa yang saya bagikan bisa membawa manfaat dan keberkahan buat kita semua.

Sampai ketemu di tulisan berikutnya! :) 

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Fatherless

Menampik Paradigma Bahwa Mengurus Anak Adalah Tugas Ibu Saja (Fatherless) - Rasanya aneh jika anak dimandikan oleh ayahnya, rasanya nggak wajar jika ayah menyuapi MPASI anaknya. Kemudian muncul pertanyaan, "Loh, ibunya ngapain? Kok ayahnya yang menyuapi?"

Belum lagi jika ada ibu-ibu yang merasa tidak terima jika anak laki-lakinya turut serta mengasuh anak di rumah. "Kamu kemana? Mengapa malah suamimu yang menidurkan anak?"

Ya, inilah 'orang-orang kita' yang sebagian besar masih memegang teguh paradigma bahwa mengurus anak adalah tugas seorang ibu SAJA. Hmm..

Sebelum kita membahas tentang fatherless lebih lanjut, aku mau mengingatkan kembali tentang kodrat seorang perempuan. Menurut sepengetahuan aku, kodrat seorang perempuan itu ada 4: haid, hamil, melahirkan, menyusui. Keempat hal itu tidak bisa diwakilkan atau digantikan oleh seorang laki-laki. Itu berarti, mengurus anak bukanlah kodrat seorang wanita dan bisa digantikan oleh seorang laki-laki.

Namun, mengapa 'orang-orang kita' itu menganggap seorang laki-laki atau seorang ayah yang tampak mengurus anaknya itu adalah laki-laki yang sedang mengerjakan hal yang bukan merupakan tugasnya. "Ibunya kemana?" Karena seharusnya ibunya yang mengurus anak. (Jawab aja, "kamu nanyeaa??")

Ketika kita sedang membahas fatherless ini, kita tidak sedang membahas single mom, ya. Fatherless yang dibahas di sini adalah kondisi dimana seorang ayah ada, namun tidak terlibat secara maksimal dalam hal pengasuhan dan tumbuh kembang anak. Ayah tugasnya mencari nafkah dan ibu yang mengurus rumah tangga, khususnya dalam hal pengurusan anak. Paradigma ini yang harus diubah dari orang-orang kita agar anak-anak tidak kekurangan peran penting ayah dalam perkembangannya.

Menurut Ibu Khofifah Indar Parawansa (saat itu menjabat sebagai Menteri Sosial) pada tahun 2017 silam, Indonesia meraih peringkat ketiga sebagai negara minim peran ayah (fatherless country). Sungguh prestasi yang tidak membanggakan. Padahal, peran seorang ayah dan peran seorang ibu merupakan sama-sama penting dalam hal pengasuhan anak.

Seharusnya tidaklah sulit seorang ayah untuk ikut andil dalam pengurusan anak, cukup hadir secara fisik dan psikologis, misalnya dengan cara ikut terlibat dalam keseharian anak seperti makan bersama, bermain, berjalan-jalan, mengobrol atau bercerita, bercanda gurau dan lain sebagainya. Sulit sih, selama paradigma tadi masih menancap di kepala.

Mirisnya, jika seorang ibu yang juga bekerja di luar rumah, tetapi dengan peringatan, "Kamu boleh bekerja, asal jangan melupakan tugas di rumah dan anak-anak."

Perempuan menjalani multi-peran yang seolah-olah semua itu adalah kewajibannya saja. Padahal, urusan rumah dan anak-anak adalah tugas bersama, tanggung jawab bersama, karena produksinya juga bersama. Perempuan bukan amoeba yang bisa punya anak dengan membelah diri, bukan?

Minimnya peran seorang ayah juga dapat mempengaruhi perkembangan anak khususnya secara psikologis, bahkan bisa sampai anak beranjak dewasa. Dilansir dari www.appletreebsd.com, Ben Spencer melalui Daily Mail menyatakan jika seorang anak tumbuh tanpa peran ayah (fatherless), maka anak dapat mengalami depresi hingga berakibat pada tingkah kenalan remaja.

Jangan sampai nantinya ibu pula yang disalahkan jika anak bertingkah buruk di masa yang akan datang akibat dampak fatherless yang tidak disadari. "Kamu nih gimana sih ngurus anak? Kok dia menjadi pelawan dan nakal?" Yes, dampak  buruk fatherless itu kebanyakan tidak disadari.

Jadi ayolah, bapak-bapak, pemuda-pemuda Indonesia harapan bangsa, kita tampik paradigma lama itu kembali menjadi yang seharusnya. Semoga kedepannya akan semakin banyak orang tua yang concern terhadap ancaman fatherless ini. Menyadari bahwa tugas mengasuh anak bukanlah tugas seorang ibu saja, peran seorang ibu dan ayah itu sama-sama penting, dan menyadari bahwa dampak fatherless itu masih cukup mengancam di masa depan jika kita masih tetap memegang paradigma yang keliru.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir.. Tiba-tiba saja saya terinspirasi ingin menulis dan membahas tentang fatherless ini karena membaca salah satu postingan instagram @rabbitholeid:


Dipersilahkan jika ingin membagikan tulisan ini agar banyak 'orang-orang kita' yang bisa semakin melek tentang fatherless dan dampak fatherless bagi tumbuh kembang anak-anak. :)
Share
Tweet
Pin
Share
4 comments

Menulis Itu Asyik! - Tips Bisa Nulis Tanpa Banyak Mikir - Hai semuanya, Assalamumu’alaikum. Postingan kali ini spesial banget karena postingan ini sekalian saya jadikan materi dalam Whatsapp Sharing “Menulis Itu Asyik” bersama Rumah Belajar Menulis Ibu Profesional Batam. Cieeh, materi..hihi. Kita sharing-sharing aja yaa, anggap aja saya sedang cerita-cerita dan berbagi pengalaman ke teman-teman sambil santai-santai.

Oke, baik. Sebelum kita cerita ke topik yang lebih dalam, sekarang saya mau bertanya dulu, nih. Teman-teman  pernah nggak, sih, lagi punya ide nulis tapi susah banget menuangkannya menjadi tulisan? Atau pas udah nulis satu atau dua kalimat terus teman-teman bingung sama kelanjutannya. Akhirnya stuck dan close, deh. Atau tulisan udah beberapa paragraf berhasil ditulis, ehh malah nggak pede dan nggak jadi di-share­. Merasa tulisannya nggak bagus dan malu kalau dibaca orang.

Saya pernah! Bahkan dulu saya punya blog yang memang nggak boleh dilihat orang-orang. Saya malu kalau ada yang membaca tulisan saya. Padahal tulisannya tidak berisi aib, kok. Hehehe. Cuma memang saat itu saya benar-benar nggak pede dan malu, overthinking, takut orang-orang anggap tulisan saya jelek atau nggak nyambung, pokoknya nggak pantas dibaca.

Coba, deh, bayangkan… Kalau misalnya saya nggak menarik keluar diri saya yang seperti itu, bakal jadi nggak blog ini dengan ratusan tulisan yang published di dalamnya? Bisa jadi nggak itu buku “Mencintai Tanpa Syarat” dan buku-buku antologi lainnya? Bahkan saya tidak akan ada di Whatsapp Sharing ini bersama teman-teman. Iya, kan?

Alhamdulillah, akhirnya saya berhasil menarik diri saya dari kekangan perasaan itu. Saya mulai pede menulis itu waktu kuliah. Saat itu saya menulis ya menulis aja, lalu post ke blog dan setelah itu saya nggak peduli. Kalau ada yang baca, ya, nggak apa-apa, kalau nggak ada yang baca pun nggak apa-apa. Nggak mau (lagi) mikirin ‘gimana ya pendapat orang tentang tulisanku?’ atau ‘tulisanku nyambung nggak, sih?’ atau lain-lainnya.

Sampai pada suatu ketika, ada seseorang yang meninggalkan komentar di bawah postingan blog saya yang inti isi komentarnya adalah “Terima kasih karena sudah sharing, Mbak.”
Membaca komentar itu, saya bahagia banget. Dalam hati saya, “Wah, benarkah tulisan saya berguna?”

Setelah itu, tiap saya mau menulis yaa, saya menulis aja. Tanpa banyak mikir gimana-gimananya. Tulis aja, selama tulisan yang kita tulis itu bukan aib, hoax, ujaran kebencian atau sesuatu yang mengandung SARA.

Saya pernah mengikuti kelas belajar nulis, dan seseorang berkata yang isinya kurang lebih begini, “Tiap tulisan pasti ada pembacanya.” Kata-kata ini menguatkan tekad saya untuk terus menulis, menghempas semua keraguan dan ketidak-pede­-an saya dulu.

Perlahan, saya pun menemukan alasan dari pertanyaan “untuk apa saya harus menulis?”
Nah ini dia poin pertama yang harus kita cari tau, “Untuk apa saya menulis?”

Bagi saya, saya harus terus menulis karena:

1. Saya ingin menjadi manusia yang bermanfaat, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”

Saya seorang ibu rumah tangga yang mayoritas kegiatan sehari-harinya yaa di rumah, circle orang-orang di dekat saya pun tidak terlalu banyak. Hanya sebatas keluarga, teman-teman terdekat dan tetangga sebagian. Kalau saya turun menjadi seseorang yang bermanfaat dengan keberadaan fisik saya, maka saya akan kesulitan. Tapi jika saya  menjadi seseorang yang bermanfaat hanya dengan jari-jari saya, mungkin itu tidak akan terlalu sulit. Ya, menulis.

Dengan menulis, manfaat yang saya tuang ke dalam tulisan itu bisa tersebar kemana-mana karena adanya internet, bahkan mendunia (blog). Saya menulis di kamar tidur sembari menemani anak-anak tidur siang, tapi tulisan saya bisa sampai dibaca oleh orang-orang dimanapun berada. Menulis adalah cara menebar kebaikan termudah, menulis juga bisa menabung pahala jariyah.

2. Saya ingin mengikat kenangan

Tahukah teman-teman, bahwa menulis itu bisa memperpanjang usia? Ketika kita menuliskan kenangan hidup kita, maka tulisan itu bisa hidup lebih lama dari usia kita. Meskipun raga kita kelak sudah tidak ada di dunia, tetapi tulisan kita dan kenangan-kenagan yang pernah kita tuliskan itu akan tetap hidup selamanya. That’s why, saya menulis karena saya ingin bisa hidup lebih lama dari jatah usia yang sudah ada.

Buku “Mencintai Tanpa Syarat” adalah diri saya yang akan hidup selanjutnya jika kontrak hidup saya di dunia ini berakhir. Dan saya ingin menambah ‘diri saya’ yang lainnya lagi, agar saya bisa tetap hidup sampai kapan-kapanpun. Setidaknya untuk keluarga atau orang-orang yang saya sayangi.

3. Saya ingin mengikat ilmu

Kemana perginya ilmu pengetahuan jika manusia tidak menuliskannya? Belum lagi, manusia itu langganannya lupa. Nah, biasanya saya suka menuliskan kembali tentang apapun yang saya pelajari. Baik itu tulisan tangan di buku tulis, maupun tulisan digital di blog. Saya juga pernah mendengar seseorang berkata, “Untuk apa kita belajar, lalu ilmunya kita telan sendiri. Akan lebih baik jika kita bagikan lagi ke orang-orang, sehingga ilmu itu kian menyebar menjadi ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak.”

Jadi, coba deh teman-teman tuliskan atau semacam buat rangkuman setiap teman-teman mendapat ilmu. Menyebar ilmu insya Allah bisa menjadi pahala jariyah ya, teman-teman.

4. Menulis bisa menjadi self healing

Menulis itu bisa dijadikan terapi untuk meredakan stress, loh. Kadang kita nggak bisa bicara atau mengungkapkan perasaan kita melalui lisan, nah kita bisa coba dengan cara menuliskannya. Tapi jangan menulis segala kekesalan di dalam status media sosial, ya..hehehe. Kita harus lebih bijak menempatkan tulisan kita, jangan sampai tulisan yang berisi aib, kita sebar ke publik. Kadang, menuliskan perasaan itu tidak mesti harus segamblang itu kok, kita bisa menuliskan perasaan ke dalam sebuah cerita novel, puisi atau mungkin hanya sekedar cerita pendek dengan tokoh samaran atau cerita nyata yang sedikit dimodifikasi. Dengan begitu, tidak ada aib yang disebar. Yang ada hanya tulisan apik yang asyik dinikmati banyak orang, syukur-syukur jika ada pelajaran atau pesan-pesan atau hikmah yang kita bagikan. Insya Allah, pahala jariyah lagi..


Itu dia keempat alasan saya untuk terus menulis. Sekarang, ketika kita sudah tahu alasan untuk apa kita menulis, kenapa masih sulit untuk memulai menulis?

Yuk, teman-teman, kita mulai menulis tanpa banyak mikir!

Tulis aja sebagaimana teman-teman bercerita, anggap aja sedang bercerita dengan diri sendiri melalui jari jemari. Mulai aja dulu dengan menuliskan cerita hari ini, kejadian lucu hari ini, kejadian menyebalkan hari ini, atau semacamnya. Teman-teman juga bisa menulis tentang buku atau film favorit yang sudah teman-teman baca atau tonton, atau tulis tentang cerita liburan, pengalaman menggunakan produk  A, B atau C. Tulis aja.

Kalau saya dulu suka nggak pede dengan tulisan saya, tenang…tulisan akan semakin membaik seiring kita semakin rajin menulis. “Ala bisa karena biasa,” juga berlaku dalam hal tulis menulis.

Setelah teman-teman mulai menulis, lalu coba ikut berbagai kelas menulis. Salah satu contohnya ya ikut Rumah Belajar Ibu Profesional ini. Coba masuk ke dalam circle dimana orang-orang di dalamnya gemar menulis, saling menebar semangat untuk menulis, bahkan menulis ini harus dengan PAKSAAN. Misalnya, seperti di grup belajar menulis yang pernah saya ikuti; wajib setor tulisan setiap hari minimal 1000 kata. Nah, loh..hehehe.

Dengan ‘paksaan’ tersebut, kadang kita bakal takjub sendiri dengan diri kita, “Wah, ternyata aku bisa kok nulis segitu banyak.”

Ternyata kita bisa nulis, hanya saja selama ini kita yang tidak mau mencoba menuliskannya.

“Penulis yang baik adalah pembaca yang baik.”

Nah, ini poin penting yang terakhir. Jika kita mau bisa menulis, maka kita harus MAU membaca. Dengan banyak membaca, kita akan banyak belajar bagaimana penulis itu menulis, kita juga akan mendapat banyak kosa kata atau mendapat banyak referensi gabungan kosa kata yang apik dan sedap dibaca.

Pengalaman saya, saya bisa menemukan perbedaan kualitas tulisan saya 5 tahun yang lalu dengan tulisan saya yang sekarang. Kenapa? Ya, karena asupan bacaan saya sekarang lebih banyak dari pada asupan bacaan saya 5 tahun yang lalu. Jadi, menulis itu juga bisa bertumbuh. Tinggal kitanya, nih, apakah kita mau sabar menumbuhkan (kualitas) tulisan kita dengan banyak membaca?

Pesan terakhir saya dalam Whatsapp Sharing ini; Untuk bisa menulis, tidak perlu teori khusus. Tulis aja apa yang ada di pikiran atau perasaan kita. Tulisan kita itu bertumbuh, seiiring dengan kita yang terus belajar dengan banyak membaca atau mau belajar. Jangan membandingkan tulisan kita dengan tulisan penulis lain, karena setiap penulis tidak bisa disama-samakan atau dipaksa untuk sama. Setiap tulisan pasti akan menemukan pembacanya masing-masing, jangan khawatir.

Semangat untuk teman-teman! Selamat menulis…

Semoga tulisan ini bermanfaat, yaaa… Terima kasih sudah membacanya sampai akhir.. :)



Share
Tweet
Pin
Share
4 comments


Sedia 3 Bumbu Dasar di Dapur Agar Masak Jadi Lebih Praktis, Hemat Waktu dan Tetap Enak - Hallo, Bund.. Kali ini saya mau cerita soal masak-masak, nih..hehe. Sudah pada tahukah bunda tentang 3 bumbu dasar masakan? Saya baru tahu soal 3 bumbu dasar ini mungkin sekitar 3 atau 4 tahun lalu. Saat itu bulan Ramadhan dan saya membaca postingan seorang ibu-ibu di facebook mengenai 3 bumbu dasar ini yang membuat masak menjadi lebih praktis, hemat waktu dan tetap enak. Apalagi untuk menyajikan hidangan saat sahur, akan lebih baik jika proses masak memasak jadi lebih simple, kan?

Saya juga sempat berselancar di google mencari tahu tentang 3 bumbu dasar ini. Berdasarkan artikel yang tayang di Kompas.com, Chef Gatot Susanto dari Parador Hotels and Resort mengatakan, bumbu dasar masakan Indonesia yang terpenting adalah bumbu dasar putih, merah, dan kuning. Bumbu dasar putih dibuat dengan bahan dasar bawang putih, kemiri, dan ketumbar. Lalu bumbu dasar merah menggunakan bawang merah, bawang putih, dan cabai. Terakhir, untuk bumbu dasar kuning berasal dari rempah kunyit, lengkuas, jahe, kemiri.

Lalu, apakah dengan 3 bumbu dasar itu kita bisa memasak berbagai macam menu masakan?

Jawabannya adalah bisa, Bund! Untuk bumbu dasar putih, kita bisa menu masakan seperti sop, opor kuah putih, capcai, nasi goreng, mie goreng, aneka tumisan juga bisa. Sedangkan untuk bumbu dasar kuning, bisa untuk menu makanan seperti gulai, ungkep ayam, soto, pepes, ikan atau ayam bakar, opor kuah kuning dan lain sebagainya. Dan untuk bumbu dasar merah, bisa untuk menu masakan seperti balado, pepes, tumisan pedas, dan lain sebagainya.

Ajaib, kan, 3 bumbu dasar ini! Mempermudah urusan emak-emak banget! Nggak perlu lagi ngupas bawang dan nguleg saat akan masak sampai berderai-derai air mata. Hehehe. Kita cukup menambahkan aneka bahan tambahan untuk seasoning seperti serai, daun jeruk, daun salam atau bahan lainnya sesuai kebutuhan dan menu yang akan kita masak.

Hmmm, iya, saya sudah tahu kalau 3 bumbu dasar ini ajaib, tapi tidak pernah sekalipun saya coba untuk membuatnya. Lalu tiba-tiba, saya temui online shop di Batam yang menjual 3 bumbu dasar ini. Bak angin segar, dan sayapun langsung mencoba untuk order. Setelah bertahun-tahun tahu tentang 3 bumbu dasar ini, baru kali ini saya merasakan betapa indahnya masak. Nggak ribet, simpel, nggak bau bawang, bisa eksplore aneka menu tanpa harus berlama-lama berdiri di dapur, dan pastinya tetap enak.

3 BUMBU DASAR BY @fillfill.spice



Sebelum saya order 3 bumbu dasarnya, saya pasti kopoin dulu instagramnya. Dan ternyata, 3 bumbu dasar ini bukan hanya sekedar bumbu biasa. Ini 3 bumbu dasar yang berkualitas banget sih menurut saya. Kenapa?

Ini dia beberapa keunggulan 3 bumbu dasar by @fillfill.spice yang membuatnya berkualitas:

1. Bahan bumbu dasar direndam dengan cairan prebiotik eco enzyme. Bahan bumbu dasar yang digunakan oleh @fillfill.spice memang bukan dari bahan organik, tapi owner berusaha sebaik mungkin untuk memberikan yang terbaik untuk para customer. Cairan prebiotik eco enzyme  digunakan untuk meminimalisir residu pestisida yang terikut dalam bahan bumbu dasar.

2. Tidak memakai MSG dan garam. 3 bumbu dasar diproduksi tanpa MSG dan garam, murni bumbu dan rempah alami yang berkualitas. Jadi, kita tinggal tambahkan garam atau penyedap sendiri sesuai dengan selera keluarga masing-masing.

3. Kemasan ekslusif menggunakan jar berbahan kaca yang bisa dipakai ulang. Setelah bumbu dasar yang kita beli habis, kita masih bisa mencuci jar dan memanfaatkannya untuk yang lain. Kita juga bisa tukarkan 10 jar kosong ex-@fillfill.spice dan mendapatkan gratis 1 jar bumbu dasar.

4. Sampah organik sisa produksi diolah kembali oleh owner menjadi pupuk kompos.

5. Bumbu dasar ditumis menggunakan minyak sawit. Bisa juga request bumbu dasar ditumis menggunakan minyak kelapa dengan sistem PO.


Itu dia 4 keunggulan 3 bumbu dasar @fillfill.spice yang membuat saya tidak ragu untuk order dan reorder berkali-kali. Bunda-bunda yang mau masaknya praktis, hemat waktu dan tetap enak, bisa cobain 3 bumbu dasar dari @fillfill.spice (khusus Batam). Untuk harganya cukup terjangkau, hanya Rp35.000/jar untuk masing-masing bumbu dasar dan Rp45.000/jar untuk masing-masing bumbu dasar yang ditumis menggunakan minyak kelapa.

Silahkan dikepoin instagramnya @fillfill.spice dan Bunda akan tahu gimana asyiknya masak praktis, hemat waktu dan tetap enak. Hihi.

Terima kasih yaa sudah baca sampai akhir.. Semoga bermanfaat ya, Bund! :)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Kita Butuh Imun, Kita Butuh Bahagia #LawanCovid19 - Haii, semuanya! Ini tulisan dadakan, tanpa rencana. Kali ini aku mau ngomong santai aja, karena memang ini seperti luapan uneg-unegku saat ini.

Sedih banget ya lihat berita sekarang-sekarang ini. Covid makin merajalela, korban makin banyak, nakes pada lelah bahkan tumbang, usaha-usaha rakyat kecil banyak yang jatuh banget, dan setiap hari kita disuguhi berita duka. Innalillahi wainnailaihiroji'un.

Satu-satunya yang kita butuhkan saat ini adalah imun. Imun tubuh yang baik, imun tubuh yang kuat untuk melawan virus jahat ini. Salah satu cara agar imun tubuh kita baik itu adalah kita harus bahagia, jangan stres.

Yaa, ada banyak cara lain untuk meningkatkan imun. Seperti makan makanan sehat, minum air putih banyak, olahraga, dan lain sebagainya. Cuma yang agak sulit kita kontrol itu kayaknya mengelola stres, atau kesehatan mental.

Katanya Covid ini menyerang mental, aku setuju dengan ini. Yang tadinya kita baik-baik aja, cuma karena mental yang udah kena serang, ya kita bisa down. Nah, kenapa mental kita bisa sampai diserang? Karena media sosial yang kita konsumsi salah satunya.

Beberapa hari ini aku cukup banyak buka Instagram karena sedang mempromosikan event yang akan Gelora Madani laksanakan bulan Juli ini. Nah, secara nggak langsung aku banyak baca berita Covid, berita duka kesedihan, cerita-cerita bahwa Covid varian baru ini mengerikan, menyakitkan, menyiksa. Degg! Mentalku sempet goyang. Apalagi suamiku kerja work in office dan beberapa orang di circlenya juga positif. Apa nggak parno, kan?

Kita semua pastilah nggak mau sakit, tapi kita nggak bisa menghindar. Covid udah dimana-mana, nggak bisa lagi ditracking ini dari siapa atau dari mana. Bisa aja itu Covid udah bertengger di ganggang pintu Alfamart deket rumah, jadi nggak bisa lagi kita menduga-duga ini tertular si A atau si B.

Jadi, yang bisa kita lakuin adalah lawan! Perang, say... Kalau ada orang lagi berantem, terus kena hajar, boleh nggak bilang "Sakit, ini menyiksa, stop, udah deh, dll"? Alamat lah kita jadi lemah dan kalah, dan lawan kita jadi bangga karena merasa menang. Begitu juga Covid ini, jangan kalah, please.. Ayo, lawan aja. Memang sakit, memang menyiksa, tapi bilang aja "Aku lebih kuat dari pada kamu, Vid! Aku pasti bisa melawanmu dan mengalahkanmu!!"

3 bulanan lalu, kami sekeluarga juga positif Covid. Baca ceritanya di sini. Gejala kami bisa dibilang ringan, Alhamdulillah. Tapi saat itu kan kita nggak tau ya, gejala itu bisa aja makin berat. Jadi kadang saya makan sambil bicara dalam hati kepada diri sendiri, "Makan, ya.. Aku kasih amunisi untuk imun-imun tubuhku, kalian kuat ya, kita kuat ya!"

Begitu juga ke anak-anak, waktu kami sakit, aku selalu bilang, "Kita lagi perang ngelawan Covid di tubuh kita, jangan mau kalah, dia cuma virus kecil dan kita lebih besar. Makan dan minum yg banyak, istirahat cukup, dan kita harus senang-senang. Itu yang dibutuhkan para tentara imun untuk mengalahkan musuh (virus)."

Jadi, buat teman-teman yang saat ini sedang positif, yuk semangat! Nggak usah diucapkan di media sosial sakitnya, ucapkan ke diri sendiri kalau aku bisa, aku kuat, aku mampu, aku sehat. Keluhnya diadukan aja langsung ke Allah (selain ke dokter yaa pastinya), agar Allah selalu berikan kekuatan untuk menghadapinya. Karena ucapan itu adalah doa, ucapan itu adalah sugesti untuk diri sendiri dan orang-orang yang mendengar atau membaca ucapan kalian. Yuk, kita sebar vibes positif. Yuk, kita sebar semangat kalau kita semua bisa melawan ini dan bisa melewati ini semua.

Kita memang tidak bisa mengontrol orang-orang di media sosial, tapi kita bisa mengontrol diri kita dalam menggunakan media sosial. Stop sementara dari media sosial nggak masalah, atau sekedar mengurangi pun tidak apa-apa. Demi kesehehatan mental, demi terjaganya kebahagiaan dan demi imun baik yang meningkat, bukan malah berkurang.

Semoga yang membaca tulisan ini bisa sama-sama menebar vibes positif dan semangat, yaaa... Kita sama-sama berjuang! Yang sehat, kita semangati yang sedang sakit. Yang sakit, ayoo sehat, kami tunggu kemenangan kalian.

Stay safe, teman-teman. Jaga protokol kesehatan lebih ketat, banyak berdoa, vaksinlah jika ada kesempatan, sama-sama kita harus kuat untuk segera keluar dari masa pandemi ini.

Terima kasih sudah baca tulisan ini sampai akhir.. Mohon maaf lahir dan bathin jika aku ada salah.. :)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Finally, 30 Years Old! - Alhamdulillah, bersyukur sekali Allah kasih kesempatan hidup sampai di usia 30 tahun hari ini. 6 Juli 1991, 30 tahun lalu saya dilahirkan sebagai anak kedua, anak bontot.

Saya bersyukur dilahirkan di keluarga saya yang sederhana, papa saya yang pekerja keras, mama saya yang pintar mengurus rumah dan keluarganya, serta saudara laki-laki yang asyik diajak main pada jaman bocah dulu.

Setiap berulang tahun, saya selalu flashback ke masa-masa lalu saya. Jaman anak-anak, masa remaja, masa-masa baru menginjak dewasa, sampai saat ini. Ada sedikit penyesalan ketika di masa muda, seperti perasaan, "Kenapa ya dulu aku begini, kenapa ya dulu aku nggak begitu?"

Yaa, itulah hidup, tidak ada yang sempurna. Dari kekurangan atau kesalahan yang lalu kita bisa ambil pelajaran dan hikmahnya saat ini.

Salah satu pencapaian impian saya dulu adalah menikah muda. Saya menikah di usia 22 tahun, sudah lulus Diploma 3 dan sudah bekerja. Saya ingin menikah muda karena saya ingin punya anak di usia muda, supaya saat anak-anak besar nanti saya belum tua-tua amat. Hehe.

Alhamdulillah, Allah lancarkan. Saat ini saya sudah punya 2 anak, Aal 7 tahun dan Maryam 4,5 tahun.

Ternyata menikah di usia mudah itu tidak mudah, dan saya harus berpikir jauh lebih dewasa dibanding teman-teman seusia saya lainnya yang masih pada asyik bermain dan menikmati masa mudanya.

Insecure? Pernah. Cuma saya nggak mau rasa itu terus tertanam, karena bahaya. Saya hanya berpikir simple, "Allah izinkan saya menikah muda dan menjadi ibu muda, berarti Allah percaya saya bisa dan saya mampu. Ya sudah, tinggal dijalani saja.. Sangat banyak ladang pahala di jalan yang saya tempuh saat ini, harusnya saya banyak bersyukur."

Semakin bertambah usia, saya semakin bersyukur. Satu per satu impian saya lainnya terwujud. Saya bisa menulis buku antologi bersama teman-teman komunitas, lalu saya menulis buku solo pertama yang berjudul "Mencintai Tanpa Syarat". Menjadi penulis, kadang saya ragu untuk melabeli diri saya sebagai seorang penulis. Tapi saya senang ketika dilabeli sebagai seorang penulis. Entah itu penulis buku, penulis blog, atau penulis daftar belanjaan. Hehe.

Masih banyak impian yang ingin saya wujudkan lagi kedepannya. Membuat buku lagi salah satunya. Lalu saya juga ingin kuliah lagi dan menjadi sarjana, bukan lagi sarjana muda nggak masalah, jadi mommy sarjana pun menarik juga. Hehe.

Soal gaya hidup, saya juga punya impian di usia 30 ke atas. Saya ingin hidup lebih sehat lagi, mulai dari makanan yang lebih sehat, rutin berolahraga, rajin skincare-an, semua saya ingin lakukan karena saya sayang diri saya sendiri.

Saya juga ingin hidup lebih lama, menua bersama-sama dengan suami saya, bersama-sama melihat anak-anak saya mencapai satu per satu impiannya, melihat mereka berkeluarga dan bahagia dengan kehidupannya masing-masing.

Ahh, 30 tahun hari ini membuat saya banyak merenung. Merenungi masa lalu, membayangkan masa depan, berdoa semoga Allah selalu memberikan hal-hal baik kepada saya dan keluarga, memudahkan saya menghadapi ujian hidup, dan yang terpenting saat ini adalah kesehatan.

Kalau cerita soal kesehatan, saya jadi ingat lagi soal pandemi yang belum berakhir, jumlah kasus justru semakin melonjak. Rumah sakit penuh, orang yang tadinya sehat bisa tiba-tiba sakit dan meninggal. Hampir setiap hari saya terima berita duka dari circle saya.

Ya Allah, dari semua harapan-harapan yang dibuat manusia, memang hanya takdirMu lah yang paling pasti. Semoga Allah senantiasa mengizinkan harapan-harapan kita dan menyudahinya dengan sebaik-baiknya akhir dari semua harapan.

Saya rasa itulah impian akhir dan terbesar dari semua manusia, meninggal dalam keadaaan beriman, bertakwa dan khusnul khatimah.

Ah, selalu sedih kalau membahas ini, mengingat diri ini masih banyak kurang dan merasa belum menjadi sebaik-baiknya manusia.

Yaa, begitulah cerita saya di usia baru 30 tahun ini. Banyak hal yang harus disyukuri, jangan berhenti bermimpi, tapi tetap harus ingat hari akhir.

“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.”

Terima kasih teman-teman yang sudah membaca tulisan ini sampai akhir... :)

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

About Me




Hai, saya Juli Yastuti, akrab dipanggil Juli atau Yasti. Bagi saya, menulis adalah cara menebar manfaat termudah. Mau tahu lebih lengkap tentang saya?


Baca Selengkapnya >

Contact


Email : ceritaumi2017@gmail.com / Whatsapp : 083184213939

Find Me Here

Followers

Part Of



My Books




Recent Post

Popular Posts

  • Sudah Lama Ditunggu, HokBen Akhirnya Buka Gerai Pertama di Batam
  • Cobain Jadi Pilot! Family Gathering HUT Blogger Kepri ke-8 Tahun di FlyBest Flight Academy
  • Menyenangkan! Pengalaman Berlayar Menggunakan Kapal Roro Dari Batam ke Riau Selama 18 Jam
  • Wisata Religi, Ziarah ke Makam 3 Wali (Walisongo) di Jawa Tengah - Syawal Trip #3
  • Pohon Literasi, Stimulasi Anak Suka Membaca

Member Of




Categories

  • Sharing
  • Info & Tips
  • Parenting
  • Family
  • Traveling
  • Institut Ibu Profesional (IIP)
  • Batam
  • Homeschooling
  • Review
  • Event
  • Tentang Buku
  • Kuliner
  • Gelora Madani Batam
  • Kolaborasi Blog
  • Mahasiswa
  • Puisi

Blog Archive

  • ►  2011 (11)
    • Jun 2011 (5)
    • Jul 2011 (6)
  • ►  2012 (2)
    • Nov 2012 (2)
  • ►  2013 (7)
    • Jan 2013 (1)
    • Feb 2013 (3)
    • Mar 2013 (1)
    • May 2013 (1)
    • Jun 2013 (1)
  • ►  2014 (13)
    • May 2014 (4)
    • Jun 2014 (4)
    • Jul 2014 (3)
    • Sep 2014 (2)
  • ►  2015 (3)
    • May 2015 (2)
    • Nov 2015 (1)
  • ►  2016 (3)
    • Jan 2016 (2)
    • Mar 2016 (1)
  • ►  2017 (56)
    • Feb 2017 (1)
    • Jun 2017 (1)
    • Aug 2017 (10)
    • Sep 2017 (1)
    • Oct 2017 (5)
    • Nov 2017 (25)
    • Dec 2017 (13)
  • ►  2018 (142)
    • Jan 2018 (21)
    • Feb 2018 (15)
    • Mar 2018 (18)
    • Apr 2018 (13)
    • May 2018 (17)
    • Jun 2018 (7)
    • Jul 2018 (9)
    • Aug 2018 (11)
    • Sep 2018 (5)
    • Oct 2018 (8)
    • Nov 2018 (7)
    • Dec 2018 (11)
  • ►  2019 (67)
    • Jan 2019 (8)
    • Feb 2019 (6)
    • Mar 2019 (7)
    • Apr 2019 (4)
    • May 2019 (5)
    • Jun 2019 (10)
    • Jul 2019 (6)
    • Aug 2019 (3)
    • Sep 2019 (6)
    • Oct 2019 (5)
    • Nov 2019 (2)
    • Dec 2019 (5)
  • ►  2020 (28)
    • Jan 2020 (7)
    • Feb 2020 (3)
    • Mar 2020 (4)
    • Apr 2020 (1)
    • May 2020 (3)
    • Jun 2020 (3)
    • Jul 2020 (2)
    • Aug 2020 (1)
    • Oct 2020 (1)
    • Nov 2020 (1)
    • Dec 2020 (2)
  • ►  2021 (28)
    • Jan 2021 (1)
    • Apr 2021 (2)
    • May 2021 (2)
    • Jun 2021 (2)
    • Jul 2021 (4)
    • Aug 2021 (4)
    • Sep 2021 (1)
    • Oct 2021 (4)
    • Nov 2021 (4)
    • Dec 2021 (4)
  • ►  2022 (14)
    • Mar 2022 (2)
    • Apr 2022 (1)
    • May 2022 (1)
    • Jun 2022 (2)
    • Jul 2022 (2)
    • Aug 2022 (2)
    • Sep 2022 (3)
    • Oct 2022 (1)
  • ►  2023 (10)
    • Jan 2023 (3)
    • Feb 2023 (2)
    • Mar 2023 (1)
    • Jun 2023 (1)
    • Jul 2023 (2)
    • Oct 2023 (1)
  • ►  2024 (1)
    • Feb 2024 (1)
  • ▼  2025 (2)
    • Jan 2025 (2)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates