Bahayanya Penyakit Hati yang Bernama: Sombong

by - 3:21 PM


Ada kisah luar biasa dari sebuah desa kecil. Desa ini memiliki sebuah pondok pesantren yang cukup dikenal oleh daerah setempat. Seperti layaknya pondok pesantran yang lain, setiap harinya lingkungan pondok pesantren ini diramaikan oleh para santri dan beberapa ustadz yang selalu menyibukkan diri mereka dengan ibadah. Subhanallah. 

Masyarakat di desa itu tergolong beragam usia, banyak keluarga muda dan banyak pula yang sudah tua renta. Bagaimanapun keragaman tersebut, mereka tetaplah kumpulan penduduk yang tentram dan penuh dengan keramah-tamahan.

Tidak jauh dari pondok pesantren, terdapat sebuah rumah (baca: gubuk) dengan kondisi yang sudah sangat memprihatinkan. Sepasang suami istri yang sudah tua renta (kakek & nenek) yang menempati rumah itu, tanpa satupun anak atau cucu mereka. Anak dan cucunya mungkin sudah hidup di daerah yang lebih baik dan nyaman dibandingkan oleh tempat tinggal mereka sekarang. Bagi mereka, biarlah anak dan cucu mereka hidup di tempat yang lebih pantas dan nyaman, dan mereka biarlah tetap menikmati masa tua di rumah tua hasil dari kerja keras mereka selama masih muda dahulu.

Suatu ketika, kakek dan nenek itu duduk berdampingan di teras rumah mereka sambil berbincang-bincang mengenai ibadah. 

"Aku malu pada anak-anak di pesantren itu. Sejak muda mereka sudah pandai mengaji dan hafal bacaan shalat. Sedangkan aku, masa mudaku penuh dengan hura-hura. Jarang sekali aku mengingat shalat dan kitabku Al-Qur'an seperti anak-anak di pesantren itu.", ucap kakek dengan suara terbata-bata khas orang tua renta kepada istrinya sambil melihat sekumpulan santri yang hendak pergi mengaji. 

"Aku dulu bisa mengaji, aku juga dulu hafal bacaan shalat. Tapi aku terlena dengan duniaku, akhirnya aku jarang shalat dan mengaji. Dan sekarang aku lupa bagaimana itu mengaji, aku lupa huruf-hurufnya, aku lupa semuanya, aku juga lupa bacaan shalat itu seperti apa.", balas si nenek dengan ekspresi yang sedang berusaha mengingat-ingat.

"Apa kita bisa belajar mengaji lagi? Apakah kamu malu dengan orang-orang jika kita yang sudah renta ini belajar mengaji dan shalat lagi?", tanya kakek sambil menatap istrinya.

"Untuk apa aku harus malu pada orang-orang? Aku sama sekali tidak memperdulikan apa kata orang. Aku malu pada Allah. Aku malu karena kita datang pada-Nya disaat kita sudah renta dan mendekati mati seperti ini. Kemana saja waktu muda dan sehat kita. Aku malu..", jawab nenek dengan wajah sendu yang penuh kerutan.

"Aku juga malu dengan Allah, tapi tidak ada kata terlambat buat kita. Ayo, nanti kita ke pesantren dan menemui Pak Ustadz yaa..", ajak si kakek menenangkan nenek.

"Iya, aku mau..", nenek-pun tersenyum mendengar ajakan suaminya itu.

Setibanya di rumah Pak Ustadz yang bersebelahan dengan pondok pesantren, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh Pak Ustadz. 

"Terima kasih Bapak dan Ibu berkunjung ke rumah saya, ada keperluan apa Bapak dan Ibu kemari?", tanya Pak Ustadz dengan ramah.

"Begini Ustadz, kami berdua ingin belajar ngaji dan shalat..", jawab kakek singkat.

Pak Ustadz terkejut, ekspresinya seakan-akan tak percaya. Iya tampak menahan tawanya.

"Oh begitu.. Tapi begini loh Pak, Bu, kami kesulitan untuk mengajarkan Bapak dan Ibu mengaji dan shalat sekarang ini, karena kondisi usia yang sudah tua itu sulit menangkap dan mengingat apa yang diajarkan. Begini sajalah, Bapak Ibu tau kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar kan? Amalkan saja itu sebisanya.", saran Pak Ustadz dengan ekspresi wajah yang masih menahan tawanya.


"Oh begitu ya Ustadz.. Baiklah kalau begitu akan kami amalkan. Terima kasih ya Pak Ustadz.." jawab si kakek dengan kepolosannya, disambut ekspresi si nenek mengangguk-anggukan kepalanya sebagai tanda setuju. 

Sepulang dari rumah Pak Ustadz, kakek dan nenek pun kembali berbincang-bincang.


"Mulai sekarang, bibir kita tidak boleh lepas dari kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar ya.. Orang lain kesulitan jika harus mengajarkan kita, sekarang hanya mengamalkan kalimat-kalimat itulah yang kita bisa. Kita saling mengingatkan yaa..", kata kekek kepada istrinya.

"Iyaa.. Aku pelupa, ingatkan aku yaa..", jawab si nenek. Kakek tersenyum dan memeluk istrinya.

Hari demi hari dilalui, kalimat-kalimat indah itu selalu membasahi bibir mereka dan menyejukkan hati mereka.berdua.

Tiga bulan kemudian...

Desa itu dihebohkan oleh adanya bau yang sangat harum. Entah dari mana harum itu berasal, para warga masih kesana kemari mencari asal muasal keharuman itu.

"Harum sekali, apa ini..?", pertanyaan yang keluar dari para warga desa termasuk penghuni pondok pesantren.

Keharuman itu belum ditemukan asalnya, sudah tiga hari berlalu dan harumnya masih sama, bahkan semakin harum. Akhirnya, seorang pemuda melihat gubuk tua yang sangat sepi seperti tidak berpenghuni. Ia datangi gubuk itu dan mencoba menggedor-gedor pintu kayu yang sudak lapuk tak berbentuk. Beberapa menit ia memanggil namun tetap tidak ada jawaban. Ia beranikan membuka sedikit jendela gubuk itu, keharuman semakin masuk ke rongga hidungnya. Rasa penasarannya pun meningkat. "Apakah keharuman itu dari gubuk ini? Apa yang terjadi?", tanyanya dalam hati.

Pemuda itu memanggil beberapa warga yang lalu lalang di depan gubuk milik kakek nenek tadi. Pintu gubuk itu akhirnya di dobrak paksa oleh beberapa warga dan akhirnya terbuka. Keharuman bertambah merekah. Seluruh warga desa heboh dan ramai mendatangi gubuk itu. Ternyata, keharuman tersebut berasal dari dua jenazah yang terbaring di lantai, jenazah kakek dan nenek yang selalu mengamalkan kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar dengan ikhlas sebelum ajalnya.

"Allahu Akbar..! Allahu Akbar!", teriak para warga yang menyaksikan. Hari itu juga, jenazah dimakamkan secara berdampingan.

Sangat ramai warga yang men-shalat-kan dan mengantarkan jenazah ke pemakaman, termasuk seluruh santri dan ustadz pondok pesantren desa itu.

Setelah pemakaman berakhir, Pak Ustadz yang pernah didatangi oleh almarhum dan almarhumah kakek nenek itu mengatakan sesuatu kepada salah satu santrinya.

"Tiga bulan yang lalu, almarhum dan alhmarhumah tersebut mendatangi saya, mereka ingin belajar mengaji dan shalat. Kemudian saya menyarankan mereka untuk mengamalkan kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar saja." jelas Pak Ustadz kepada santrinya.

"Oh, wah, Subhanallah..", ucap santri dengan kagum atas hidayah yang sempat dimiliki almarhum dan almarhumah sebelum ajal menjemput mereka.

"Iya.. Nak, nanti jika giliran saya yang meninggal dunia, biarkan jenazah saya selama seminggu di desa ini ya.. Mereka yang seperti itu saja harumnya sampai tiga hari, apalagi saya..", pinta Pak Ustadz kepada santrinya.

Tanpa disadari, Pak Ustadz itu sudah tenggelam dalam kesombongannya. Ia merasa jauh lebih baik ibadahnya dibandingkan dengan kakek dan nenek yang telah tiada, ia merasa jenazahnya bisa jauh lebih harum karena ibadahnya selama ini lebih dari kalimat Subhanallah, Alhamdulillah dan Allahuakbar saja, selama ini ia menjalankan puasa sunnah, shalat tahajud dan shalat dhuha yang hampir tidak pernah tertinggal, begitu juga amalan-amalan lainnya. Seperti itu pikirannya.

Satu bulan kemudian..

Desa itu kembali dihebohkan untuk kedua kalinya, bahkan lebih heboh. Warga-warga desa termasuk para santri dan beberapa Ustadz di pondok pesantren pada hiruk pikuk kesana kemari, bukan karena keharuman (lagi), namun bau busuk yang sangat busuk dan sangat mengganggu aktifitas mereka. Semua warga sibuk mencari dimana bau busuk itu berasal. Tidak sedikit warga yang mual mencium baunya, terganggu makan dan istirahatnya.

Akhirnya, seorang santri mencium asal muasal bau busuk tersebut, ia menduga itu berasal dari rumah salah satu Ustadz di pondok pesantren tempat ia menimba ilmu. Dengan perasaan setengah yakin dan khawatir ia mendekati rumah Pak Ustadz, bau busuk semakin menyengat hidungnya. Kekhawatiran santri itu diketahui oleh beberapa warga, sehingga mereka memutuskan untuk datang dan melihat ke rumah Pak Ustadz. Ternyata benar, bau busuk itu berasal dari jenazah seorang Ustadz. Mereka heran, apa yang terjadi..?

Seluruh warga berbondong-bondong mendatangi rumah almarhum Pak Ustadz seakan tak percaya. Warga meminta untuk cepat dimakamkan karena tidak tahan dengan bau busuknya.

Ketika prosesi pemakaman itu berlangsung, seorang santri duduk terdiam dan merenung. Ia seakan-akan berpikir keras akibat apa yang menimpa almarhum Ustadz-nya. Ia teringat saat sebulan sebelum beliau wafat. Beliau memintanya untuk membiarkan jenazahnya selama seminggu karena mengira bahwa keharuman jenazahnya akan melebihi jenazah kakek nenek yang pernah mendatanginya untuk belajar mengaji dan shalat.

Na'udzubillah min dzalik. Beliau meninggal di dalam kesombongannya.. Santri itu tersadar dan menangis.

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (angkuh).” (QS. 31:18)

---

Subhanallah, cerita ini dapat mengingatkan kita mengenai bahayanya penyakit hati yang bernama sombong. Kita (manusia) tidak ada satupun yang pantas menilai besar atau kecilnya ibadah seorang manusia. Tidak ada (manusia) yang bisa menjamin ibadah seseorang itu baik atau buruknya, benar atau salahnya. Sesungguhnya seluruh kebaikan dan kebenaran hanya milik Allah SWT.

Mohon maaf saya tidak dapat mencantumkan sumber cerita ini secara lengkap, saya mendapatkan cerita ini dari cerita pula. Syukron katsir untuk seseorang yang sudah menceritakan kisah ini kepada saya, sehingga dapat saya ceritakan pula kepada siapa saja yang membaca. Semoga senantiasa dapat diambil hikmah dan pelajaran di kehidupan kita, Aamiin..

You May Also Like

5 comments